
Takkan ada yang bisa melanjutkannya, cerita adilk kecil yang menangis
lantaran di tinggal ibunya pergi ke sawah, putus ditengah jalan. Seiring dengan
ayah meninggalkanku pergi untuk selamanya, akibat brondongan senjata para serdadu perang, begitu kata Ibu. Suara takbir itu, membangunkan
ingatanku pada ayah.
Banyak ayah dengan pakaian muslimnya menuju mesjid. Dulu ayah juga begitu,
ke mesjid bersamaku menunaikan ibadah shalat hari raya. Di pagi lebaran ini,
tidak ada ayah yang mengajakku ke mesjid. Aku menggunakan pakaian muslim
sebagaimana yang ayah pakaikan padaku waktu pagi lebaran, tapi pagi ini aku
hanya pergi kepusaranya. Aku tidak mematuhi permintaan ibu, agar kami bisa
pergi bareng kakak.
Pusara ayah terletak di pemakamam umum. Hanya butuh dua menit menuju ke
sana. Lorong yang luas dua meter itu kutelusuri sendiri. Burung yang berdiri di
dahan kayu kering bersiul, mengiringi langkah pelanku. Rumput sepanjang
pinggiran lorong membelai lembut kaki mungilku dengan sendal yang melebihi
ukuran kaki kebelakang. Tumpukan tanah liat yang kuinjak, juga ikut bersamaku
menuju pusara. Tumpukan tanah liat yang menempel di sendal memberatkan gerak
langkah, tapi menjadikan semangat dan semakin mudah untuk kugerakkan, tanah
liat kujadikan teman menuju pusara ayah.
Assalamualaikum Ayah. Ini anakmu datang. Linangan air mata dan mulutku yang
bergetar. Aku mencoba mengatur kalimat, aku ingin berbicara dengan ayah, aku
merindukan ayah di sela takbir hari ini, aku menuntut janji ayah, melanjutkan
cerita adilk kecil yang menangis lantaran di tinggal ibunya pergi ke sawah.
Ayah katakanlah sesuatu.
Aku hanya bisa menangis dan tertunduk kaku di pusaranya. Hujan rintik
mengantarku menemui ayah.
"Waalaikum salam anakku Ahmad." Mendengar jawaban itu. Aku
terkejut, kini aku berdiri ,melepaskan senyum dan pelukan manja dengannya. Ayah
membelaiku, menggendongku dan kami duduk di anta pepohonan kemiri yang di
tanamnya sewaktu diriku belum ada. Beberapa kali dia mencubit pipiku dan
menciuminya.
"Ada apa nak! Menemui ayah sendiri..?"
"Kok ayah tanyanya begitu.?"
"O..hoho... maaf abang ganteng, ada apa kamu kenapa menangis,
biasanya, yang nagis itu adek kecil."
"Aku menuntut janji Ayah. Kata ayah nanti waktu pagi lebaran, akan
melanjutkan menceritakan cerita adilk kecil yang menangis lantaran di tinggal
ibunya pergi ke sawah, tapi ayah kenapa ingkar."
"Maaf nak. Ayah lupa."
"Sekarang ceritakan ayah.”
“Begini, setelah adek kecil itu menangis beberapa menit, lalu ia tertidur
di pangkuan sang ayah. Entah berapa tahun dia tdak pernah menangis lagi, dan
sekarang adek kecil itu sudah besar, kamu tau di mana dia sekarang?” Tanya ayah
padaku. Aku hanya menggeleng kepala, lalu berdiri dan tersenyum pada ayah.
“Emang di mana dia Yah..?” Tanyaku sepontan.
“Emang kamu ngak tau di mana dia. Dia ada di depan ayah.”
“Maksud Ayah! Ahmad yang ayah sebutkan dalam cerita itu.”
“Iya nak!” Ayahku mengangguk beberapa kali, lalu menghapus linangan air
matanya.
“Kenapa ayah menangis?”
“Ayah berpesan padamu nak. Tidak ada lagi cerita adek kecil yang menangis
itu, dia sekarang sudah besar dan dewasa. Dia akan menjadi pengganti ayah hidup
di dunia, dia dan kamu teruslah berjalan menantang dunia, teruslah berjalan
nak.. teruslah dan hadapi dunia.” Setelah beberapa kali menyebut-nyebut kalimat
yang sama. Lalu ayah menghilang dalam pandangan mata.
Hujan rintik itu membasahi seluruh tubuhku, aku terjaga. Berlahan mataku ku
buka. Aku melihat remang Ibu, menuju arahku dengan menggunakan payung. Dia
menggendongku dan pulang, aku menggigil, demam, pilek dan bersyin-bersyin.
Dengan bantuan pamanku Cek Din, aku di bawa kementri.
Hari-hariku kini kuhabiskan tanpa ada adik kecil itu. Canda dan tawa kami
bersama Ibu dan seorang Bibi yang tunanetra, bersaiang dengan para orang kaya
kampungku[].
Bluek, 04 Desember 2013
Nama Pena : Jabal Bluek
Nama Adm : Muhammad Jabannur, SHI, MAP
Pekerjaan : ASN di Jajaran Pemerintah
Kabupaten Pidie
No comments:
Post a Comment