Sunday, November 26, 2017

TIDAK ADA LAGI CERITA SI ADEK KECIL ITU

Berlahan aku turun dari rangkang bambu peninggalan ayahku, setelah dua jam lebih kumenidurinya, karena aku rindu. Ayah telah pergi meninggalkan kami, saat ceritanya belum usai dan ia menjanjikan akan melanjutkan lebaran kali ini. Sendal jepit yang kupakai, sedikit mewakili rasa sayangnya. Sandal yang sangat kujaga, sandal milikinya, yang hanya di boleh kan aku yang memakai, begitu kata ayah saat aku menangis di ganggu sang kakak.
Takkan ada yang bisa melanjutkannya, cerita adilk kecil yang menangis lantaran di tinggal ibunya pergi ke sawah, putus ditengah jalan. Seiring dengan ayah meninggalkanku pergi untuk selamanya, akibat brondongan senjata para serdadu perang, begitu kata Ibu. Suara takbir itu, membangunkan ingatanku pada ayah.
Banyak ayah dengan pakaian muslimnya menuju mesjid. Dulu ayah juga begitu, ke mesjid bersamaku menunaikan ibadah shalat hari raya. Di pagi lebaran ini, tidak ada ayah yang mengajakku ke mesjid. Aku menggunakan pakaian muslim sebagaimana yang ayah pakaikan padaku waktu pagi lebaran, tapi pagi ini aku hanya pergi kepusaranya. Aku tidak mematuhi permintaan ibu, agar kami bisa pergi bareng kakak.
Pusara ayah terletak di pemakamam umum. Hanya butuh dua menit menuju ke sana. Lorong yang luas dua meter itu kutelusuri sendiri. Burung yang berdiri di dahan kayu kering bersiul, mengiringi langkah pelanku. Rumput sepanjang pinggiran lorong membelai lembut kaki mungilku dengan sendal yang melebihi ukuran kaki kebelakang. Tumpukan tanah liat yang kuinjak, juga ikut bersamaku menuju pusara. Tumpukan tanah liat yang menempel di sendal memberatkan gerak langkah, tapi menjadikan semangat dan semakin mudah untuk kugerakkan, tanah liat kujadikan teman menuju pusara ayah.
Assalamualaikum Ayah. Ini anakmu datang. Linangan air mata dan mulutku yang bergetar. Aku mencoba mengatur kalimat, aku ingin berbicara dengan ayah, aku merindukan ayah di sela takbir hari ini, aku menuntut janji ayah, melanjutkan cerita adilk kecil yang menangis lantaran di tinggal ibunya pergi ke sawah. Ayah katakanlah sesuatu.
Aku hanya bisa menangis dan tertunduk kaku di pusaranya. Hujan rintik mengantarku menemui ayah.
"Waalaikum salam anakku Ahmad." Mendengar jawaban itu. Aku terkejut, kini aku berdiri ,melepaskan senyum dan pelukan manja dengannya. Ayah membelaiku, menggendongku dan kami duduk di anta pepohonan kemiri yang di tanamnya sewaktu diriku belum ada. Beberapa kali dia mencubit pipiku dan menciuminya.
"Ada apa nak! Menemui ayah sendiri..?"
"Kok ayah tanyanya begitu.?"
"O..hoho... maaf abang ganteng, ada apa kamu kenapa menangis, biasanya, yang nagis itu adek kecil."
"Aku menuntut janji Ayah. Kata ayah nanti waktu pagi lebaran, akan melanjutkan menceritakan cerita adilk kecil yang menangis lantaran di tinggal ibunya pergi ke sawah, tapi ayah kenapa ingkar."
"Maaf nak. Ayah lupa."
"Sekarang ceritakan ayah.”
“Begini, setelah adek kecil itu menangis beberapa menit, lalu ia tertidur di pangkuan sang ayah. Entah berapa tahun dia tdak pernah menangis lagi, dan sekarang adek kecil itu sudah besar, kamu tau di mana dia sekarang?” Tanya ayah padaku. Aku hanya menggeleng kepala, lalu berdiri dan tersenyum pada ayah.
“Emang di mana dia Yah..?” Tanyaku sepontan.
“Emang kamu ngak tau di mana dia. Dia ada di depan ayah.”
“Maksud Ayah! Ahmad yang ayah sebutkan dalam cerita itu.”
“Iya nak!” Ayahku mengangguk beberapa kali, lalu menghapus linangan air matanya.
“Kenapa ayah menangis?”
“Ayah berpesan padamu nak. Tidak ada lagi cerita adek kecil yang menangis itu, dia sekarang sudah besar dan dewasa. Dia akan menjadi pengganti ayah hidup di dunia, dia dan kamu teruslah berjalan menantang dunia, teruslah berjalan nak.. teruslah dan hadapi dunia.” Setelah beberapa kali menyebut-nyebut kalimat yang sama. Lalu ayah menghilang dalam pandangan mata.
Hujan rintik itu membasahi seluruh tubuhku, aku terjaga. Berlahan mataku ku buka. Aku melihat remang Ibu, menuju arahku dengan menggunakan payung. Dia menggendongku dan pulang, aku menggigil, demam, pilek dan bersyin-bersyin. Dengan bantuan pamanku Cek Din, aku di bawa kementri.
Hari-hariku kini kuhabiskan tanpa ada adik kecil itu. Canda dan tawa kami bersama Ibu dan seorang Bibi yang tunanetra, bersaiang dengan para orang kaya kampungku[].

Bluek, 04 Desember 2013
Nama Pena : Jabal Bluek
Nama Adm : Muhammad Jabannur, SHI, MAP

Pekerjaan : ASN di Jajaran Pemerintah Kabupaten Pidie

No comments:

Post a Comment