
Aku di
depan rumah, mataku terarah ke jalan, kulihat Chik Bon yang membawa satu kantong besar kerupuk
sambal ladonya, lalu
Ibuk Dewi, Ibuk Nila dan Pak Ahmad lewat. Ibuk Dewi, Ibuk Nila
keduanya seorang guru yang saban bulan mendapat gaji sedangkan Pak Ahmad seorang pegawai
kantoran yang mendapat gaji bulanan juga, lalu Haji Yusuf lewat lagi dengan
lembu menuju sawah, lewat
lagi Muge Eungkot, Muge Mulieng, Muge Manok, lalu lewat lagi Agen Moto Krok, lewat lagi peminta-minta dan setiap mereka yang lewat mataku kuarahkan kearah
mereka hingga tenggelam dalam lamunan.
Mereka yang lewat
di depan rumahku, semuanya karena uang. Gerak dari arah pikir manusia, di landasi dengan uang..uang dan uang. Caranya saja yang berbeda. Kekisruhan dunia ini selalu di mulai dari kursi, jabatan dan uang.
Tak ada sangkut paut
dengan Haji Yusuf dan lembunya yang saban hari membajak sawah, Muge Eungkot, Muge Mulieng, Muge Manok, dan juga Agen Moto Krok.
Maka tatkala kursi, jabatan dan uang saling membusungkan dada,
saling berbangga diri, “Kita sama.! Kita
dikompetesikan dan diagungkan.” cetus jabatan. Sambil menyender di
kursi dengan geransang, matanya tertuju kepojok-pojok dan dinding
yang penuh dengan foto-foto kesuksesannya, tangannya mengusap-usap mahkota keberhasilan yang
pernah di dapatkan,
menggeleng kepala lalu terdiam dengan hembusan nafasnya yang
panjang.
“Tidak.!” Jawab kursi dengan suara lancang. “Bukankah keberhasilan yang
kau dapatkan itu, berkat adanya aku, bahkan mereka menghadapmu lantaran aku, di
atasku engkau duduk,
andai kau berdiri di pintu, kau tak ubahnya pengawal yang hanya
bisa membuka dan menutup pintu.”
Jabatan terdiam, mulutnya ternga-nga seolah dia kalah adu argumen.
Jabatan bangkit sembari menunjuk, “Hei..Kursi! Kau mestinya tau, karena akulah kau
berharga dan mulia, maka
akulah yang telah menghargaimu, berarti aku yang memberimu derajat
dan aku lebih berderajat darimu.” Sembari menggoyang-goyangkan telunjuknya.
“Enyah.. Engkau dariku
wahai jabatan tengik, kau memang lupa diri, siapa engkau sebenarnya.” Tiga langkah jabatan mundur, gayanya
ngos-ngosan, matanya melalak. Kursi yang dari tadi memperhatikan sikap dan gaya emosional jabatan,
mencoba mennenangkan keadaan. “Jabatan, dengar... Aku tidak bermaksud
sedikitpun memancing emosi dan amarahmu, tapi aku ingin engkau mengerti siapa engkau dan aku,
jangan sombong dan
angkuh kawan.!”
Sembari mengangkat tangan, lalu bertolak pinggang. “Cukup. Engkau jangan menceramahiku wahai kursi. Apa yang engkau katakan tadi, kau bilang aku tengik,
tak tau diri...! Ha..ha..ha.
Sumpah.. bukankah kau yang tidak tau diri..” Sembari melanjutkan tawanya dan menujuk tajam ke arah kursi. “Ha..ha..ha..! Kau yang
tidak tau diri. Bukankah kau berharga karena aku, bukankah kau disebut kursi jabatan karena aku, dan di hargai,
semua itu karenaku.
Apakah kau faham.!” Teriak kursi dengan kerasnya.
Kursi bangkit membanting diri lalu memukul meja.”Diam.!” dengan nada keras, suara serak keluar dari mulutnya. “Hei Jabatan.! Coba engkau
kaji kembali, riwayat saat engkat disebut jabatan, saat engkau diberi nama jabatan dan saat engkau
mencari-cari agar mendapatkan jabatan, di atas siapa engkau duduki. Saat engkau melobinya di
ruang tunggu, saat engkau duduk dan meminta di hadapan pemberimu nama jabatan itu, ingat
engkau juga melobi pihak ketiga di warung-warung dan kau juga duduk di atasku. Cukup sudah
kau bersilat lidah, hentikan pengelakanmu, dan akui bahwa aku lebih berharga darimu.!”
“Kau berharga karena aku
kan?” Cetus jabatan dengan lancang.
“Tidak.! Justru, kau di
hargai karena aku, maka akulah yang memberimu peluang untuk di hargai.”
“Tidak.! Akulah yang lebih
berharga.”
“Aku lebih berharga.”
“Aku.!”
“Aku.!”
“Aaakuu...!!!”
“Aaakuu...!!!”
Selembar uang, yang dari tadi mendengar kericuhan dan perdebatan
anatara kursi dengan jabatan, meloncat dari saku bajunya jabatan ke arah mulut jabatan dan
meloncat lagi ke arah mulut
kursi, dengan menampar mulut keduanya lalu berdiri diantara mereka.
“Cukup. Hentikan.! Kalian
kedua-duanya tidak berharga, jika tanpa aku.”
Suasana hening, uang memperhatikan kedua tingkah mereka. Jabatan
terkekeh, membisu sembari menggigit jari jemarinya begitu juga yang dilakukan kursi.
Ekspresi uang yang sangat marah dengan tingkah kursi dan jabatan, namun tetap
bersabar .
“Hei. Kalian! Apakah kalian
masih ingat akan isi sumpah yang pernah di ikrarkan oleh penerima sumpah” Tanya uang di antara keheningan itu. Secara berlahan kursi dan jabatan berdiri tegap, bergenggaman
tangan. Lalu mereka serentak pula menjawab. “Ya. Kami masih sangat ingat, akan ikrar sumpah
tersebut, menjaga nama baik organisasi dan lembaga kami.”
Uang tersenyum. Dalam hatinya dia bergumang, Alhamdulillah. Mereka
telah baikan sekarang, terimakasih ya Allah.
“Kalian sudah sadarkan,
siapa kalian sebenarnya? Berbicara terhormat dan berharga, kalian memang tidak ada apa-apanya, kalian
hanya sebutan saja bagai tuan-tuan yang mencintai kalian atau katakanlah mereka
pemburu kursi jabatan.”
Uang perlahan duduk, sembari mengajak kursi dan jabatan ikut barengan
duduk. “Tidak!” sambil menepis tangan uang. “Kami bermarwah, berharga
dan terhormat.” Ucap kursi dan jabatan dengan lancangnya. Secara spontan mereka telah
memperlihatkan sikap keasliannya, angkuh, sombong dan sangat egois.
“Duduk dulu.” Sekali lagi uang mengajak mereka duduk. “Silakan duduk wahai kursi dan jabatan, saya akan menjelaskan panjang lebar dengan kalian,
mengenai siapa aku, kau dan dia.”
“Tidak! Kami tidak akan
pernah duduk denganmu, kami tidak selevel denganmu uang, hanya kau saja tidak mengenali kami, siapa kami sebenarnya.”
“Baiklah. Coba kalian
jelaskan siapa diri kalian dan apa yang menyebabkan kalian terhormat, berharga dan berwibawa?”
“Dengarkan tuan uang. Kursi
dan saya disebut kursi jabatan. Seluruh kepemimpinan dan pemerintahan di alam jagat ini di pimpin karena kami, ingat tuan
uang karena kami kursi
jabatan.”
Uang hanya terdiam dan mangut-mangut, dia menyandar dengan leluasa
di atas tempat ia duduki. “Lanjutkan, cerita kebodohan kalian itu, memang
kalian benar-benar tidak tau diri, sombong, angkuh, congkak dan tidak tau berbalas jasa. Kalian
memang setan. Pantas saja sebahagian besar masyarakat membenci kalian.”
“Jangan marah tuan uang.
Dengarkan dulu penjelasan kami, agar engkau paham, siapa kami dan engkau sebenarnya. Kami adalah kursi jabatan, kami berada di
gedung-gedung mewah organisasi dan pemerintahan di dunia ini. Ingat gedung Markas Besar PBB di New York Amerika serikat, kami berada di sana yang diduduki oleh Ban Ki
Moon dengan kursi jabatannya Sekretaris Jendral PBB yang berasal dari korea, kami
juga berada di Negara Arab Saudi, yang diduduki oleh seorang raja yang bernama Salman dengan
sebutan kursi dan jabatannya adalah raja, berarti kursi kerajaan, kami juga berada
di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diduduki oleh Bapak Joko Widodo dengan sebutan nama
kami adalah kursi
kepresidenan.”
Dalam kondisi keseriusan penjelasan yang
disampaikan oleh kursi dan jabatan, tiba-tiba keduanya tersentak. Uang yang telah geram sejak dari tadi, mendengar omong kosong yang
di lontarkan oleh mereka. Akhirnya meloncat ke atas meja sembari membanting diri dan
sekali lagi memukul meja.
“Cukup.! Hentikan ocehan kalian, aku muak, aku
benci, kalian memang makhluk tidak tau diri dan tidak mau berbalas jasa, sekali lagi ku katakan wajar
masyarakat membenci kalian dan geram mendengar nama kalian.” Dengan suara serak dan berlahan.
“Hai tuan uang.” Sembari mendekat dengan uang mencoba untuk membujuk. Uang mukanya memerah dan matanya belalakan.
“Jangan marah, jangan emosi itulah kami. Lihatlah tuan uang, di aceh yang merupakan
salah satunya daerah yang memiliki lembaga wali nanggroe di negeri ini, kami juga berada di
sana, kami juga berada di kantor gubernur dan kami juga berada di gedung-gedung DPR.”
“Cukup! Hentikan haba bangai awak kah.” Matanya berbinar dengan
beberapa tetesan air mata. Uang melihat tajam ke arah kursi dan jabatan. “Apakah kalian lupa, kursi, jabatan dan para tuan-tuan yang menduduki kalian itu semua karena aku. Bahkan
kalianpun diciptakan lantaran adanya aku. Kau kursi dari apa kamu di jadikan? Kau
hanyalah hasil karya para tukang yang diupahkan denganku, bahan dan besi yang di beli juga
menggunakan harga dan kehormatan yang aku miliki, keluargamupun kau hidupkan karena
jasa-jasaku.”
Kursi hanya terdiam tingkahnya lunglai, tetesan air matanya mengguling di
antara matanya yang berbinar.
“Oh tuhan..ampuni aku, aku
terlalu sombong.” Cetus kursi sembari menyeka mukanya dan tertunduk kaku tanpa kata di hadapan uang. Jabatan yang dari tadi terdiam, mencoba menggerakkan tangan untuk
minta maaf pada uang, mulutnya gemetaran. Dan tiba-tiba uangpun berteriak lagi. “Kau juga, kau memang jabatan, tapi kau dihargai tok-tok karena aku. Aku berada dikeselilingmu yang berwujud dengan tunjangan dan sebutan lainnya yang disebutkan oleh mereka
penggila-penggilamu, bahkan kehidupan dan seluruh keluargamu membutuhkanku.”
Jabatan terdiam lalu bersujud di hadapan uang. “Maafkan kami tuan uang. Kami bersalah. Sekali lagi maafkan kami.” Sembari mencoba meraba
tangan uang, lalu berkata. “Maafkan
kami uang, kita bertiga memang tidak dapat dipisahkan.”
“Bukan kita bertiga! Tapi,
Aku... Hanya aku.!!! Aku memang tidak dapat dipisahkan dengan siapapun, dan aku selalu diperebutkan, bahkan manusia menghalalkan
segala cara untuk
memilikiku. Anak membantai orang tua, perceraian keluarga,
mengkorupsi uang negara, perampok merampok, pencuri mencuri, penipu menipu. Mereka semunya
ingin memilikiku, karena aku berharga dan di hargai, akulah pemberi harga pada
seluruh alam jagat ini, dengan izin Allah Tuhanku.” Timpal uang dengan nada serak dan irama suara menyudahi obrolan[].
Bluek, 23 April 2016
Nama Pena : Jabal Bluek
Nama Adm : Muhammad
Jabannur, S.H.I., M.A.P
Pekerjaan : ASN di Jajaran Pemerintahan Pidie
No comments:
Post a Comment